Mengapa kita harus sholat di masjid, bukankah sholat di
rumah tidak dilarang? Memang shalat di rumah tidak dilarang. Namun orang yang
pergi ke masjid dengan niat untuk melakukan sholat fardhu berjamaah dia akan
mendapat pahala yang lebih besar. Setiap langkahnya bernilai pahala. Karena
itu, semakin jauh perjalanan ke masjid, semakin banyak pula pahalanya.
Masjid adalah satu-satunya tempat mulia dan suci di muka
bumi ini, karena kemuliaan ini sampai-sampai orang yang berdiam di dalam masjid
saja mendapat pahala. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa bersuci di rumahnya
kemudian berjalan ke masjid untuk menunaikan sholat fardhu, maka semua
langkahnya dihitung satu untuk menghapuskan dosa dan yang kedua untuk menaikkan
derajat”.
Salah satu kegiatan ibadah yang mengandung unsur sosial,
kebersamaan, dan sekaligus ketaatan adalah shalat berjamaah. Di dalam shalat
berjamaah tidak ada perbedaam ras, status sosial, usia dan suku. Semuanya sama,
semuanya memiliki hak yang sama untuk berada di shaf (barisan) terdepan.
Shalat berjamaah juga mencerminkan
kerukunan dan persatuan.Mereka
bergerak bersama-sama dalam waktu yang bersamaan, sehingga shalat berjamaah itu
enak dipandang seperti sebuah gerak seni tarian kolosal. Inilah gambaran
kebersamaan masyarakat dalam mengarungi banyaknya perbedaan diantara mereka.
Manfaat sholat jamaah di masjid selain
mendapat pahala dua puluh tujuh derajat lebih baik daripada sholat sendirian
juga sebagai bentuk aktifitas bersosial dengan masyarakat sekitar tempat
tinggal. Seringkali perkenalan tetangga baru dimulai dari lingkungan jamaah
shalat di jamaah di masjid lalu berlanjut ke tahap keakraban bertetangga yang
lebih baik.
Shalat berjamaah adalah salah satu
simbol ketaatan rakyat kepada pemimpin, selama imam (pemimpin) tidak melakukan
tindakan yang melanggar aturan syara’. Bila imam melakukan perbuatan yang
melanggar aturan syara’, maka ia wajib tidak diikuti. Bila imam salah, maka hal
pertama yang dilakukan adalah mengingatkan. Bagi jamaah laki-laki, cara
mengingatkan adalah dengan membaca istighfar dengan keras. Sedang bagi jamaah
perempuan, cara mengingatkan adalah dengan tepuk tangan.
Misalnya dalam satu kesempatan shalat berjamaah seorang imam
menambah atau mengurangi rukun fi’liy dalam shalat, maka makmum wajib
mufarraqah (berpisah dari imam), lalu melanjutkan sholat sendiri. Ini adalah
gambaran kalau pemimpin umat melakukan tindakan dzalim dan sewenang-wenang,
maka ia wajib tidak diikuti karena perbuatannya menyimpang dari tatanan
syari’ah.
DALIL-DALIL WAJIBNYA SHALAT BERJAMAAH
DI MASJID
Shalat berjama’ah adalah termasuk
dari sunnah (yaitu jalan dan petunjuknya) Rasulullah dan para shahabatnya.
Rasulullah dan para shahabatnya selalu melaksanakannya, tidak pernah
meninggalkannya kecuali jika ada ‘udzur yang syar’i.
Bahkan ketika Rasulullah sakit pun beliau tetap
melaksanakan shalat berjama’ah di masjid dan ketika sakitnya semakin parah
beliau memerintahkan Abu Bakar untuk mengimami para shahabatnya. Para shahabat
pun bahkan ada yang dipapah oleh dua orang (karena sakit) untuk melaksanakan
shalat berjama’ah di masjid.
Kalau kita membaca dan memperhatikan dengan sebaik-baiknya
Al-Qur`an, As-Sunnah serta pendapat dan amalan salafush shalih maka kita akan
mendapati bahwa dalil-dalil tersebut menjelaskan kepada kita akan wajibnya
shalat berjama’ah di masjid.
Diantara dalil-dalil tersebut adalah:
1. Perintah Allah Ta’ala untuk Ruku’
bersama orang-orang yang Ruku’
Dari dalil yang menunjukkan wajibnya shalat berjama’ah
adalah firman Allah Ta’ala: “Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah
zakat serta ruku’lah bersama orang-orang yang ruku’.” (Al-Baqarah:43).
Berkata Al-Imam Abu Bakr Al-Kasaniy Al-Hanafiy ketika
menjelaskan wajibnya melaksanakan shalat berjama’ah: “Adapun (dalil) dari
Al-Kitab adalah firman-Nya: “Dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku’.” (Al-Baqarah:43).
Allah Ta’ala memerintahkan ruku’ bersama-sama orang-orang
yang ruku’, yang demikian itu dengan bergabung dalam ruku’ maka ini merupakan
perintah menegakkan shalat berjama’ah. Mutlaknya perintah menunjukkan wajibnya
mengamalkannya.” (Bada`i’ush-shana`i’ fi Tartibisy-Syara`i’ 1/155 dan
Kitabush-Shalah hal.66).
2. Perintah melaksanakan Shalat berjama’ah
dalam keadaan takut
Tidaklah perintah melaksanakan shalat berjama’ah dalam
keadaan biasa saja, bahkan Allah telah memerintahkannya hingga dalam keadaan
takut. Allah berfirman: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (shahabatmu)
lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah
segolongan dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata…”. (An-Nisa`:102).
Maka apabila Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk
melaksanakan shalat berjama’ah dalam keadaan takut maka dalam keadaan aman
adalah lebih ditekankan lagi (kewajibannya). Dalam masalah ini berkata Al-Imam
Ibnul Mundzir: “Ketika Allah memerintahkan shalat berjama’ah dalam keadaan
takut menunjukkan dalam keadaan aman lebih wajib lagi.” (Al-Ausath fis
Sunan Wal Ijma’ Wal Ikhtilaf 4/135; Ma’alimus Sunan karya Al-Khithabiy 1/160
dan Al-Mughniy 3/5).
3. Perintah Nabi untuk melaksanakan shalat
berjama’ah
Al-Imam Al-Bukhariy telah meriwayatkan dari Malik bin
Al-Huwairits: Saya mendatangi Nabi dalam suatu rombongan dari kaumku, maka kami
tinggal bersamanya selama 20 hari, dan Nabi adalah seorang yang penyayang dan
lemah lembut terhadap shahabatnya, maka ketika beliau melihat kerinduan kami
kepada keluarga kami, beliau bersabda:
“Kembalilah kalian dan jadilah bersama
mereka serta ajarilah mereka dan shalatlah kalian, apabila telah datang waktu
shalat hendaklah salah seorang diantara kalian adzan dan hendaklah orang yang
paling tua (berilmu tentang Al-Kitab & As-Sunnah dan paling banyak hafalan
Al-Qur`annya) diantara kalian mengimami kalian.” (Hadits Riwayat Al-Bukhari no. 628, 2/110 dan Muslim
semakna dengannya no. 674, 1/465-466).
Maka Nabi yang mulia memerintahkan adzan dan mengimami
shalat ketika masuknya waktu shalat yakni beliau memerintahkan pelaksanakannya
secara berjama’ah dan perintahnya terhadap sesuatu menunjukkan atas
kewajibannya.
4. Larangan keluar dari masjid setelah
dikumandangkan adzan
Sesungguhnya Rasulullah melarang keluar setelah
dikumandangkannya adzan dari masjid sebelum melaksanakan shalat berjama’ah.
Al-Imam Ahmad telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata:
“Rasulullah memerintahkan kami, apabila kalian di masjid lalu
diseru shalat (dikumandangkan adzan-pent) maka janganlah keluar (dari masjid,
red) salah seorang diantara kalian sampai dia shalat (di masjid secara
berjama’ah-pent) (Al-Fathur-Rabbani
Li Tartib Musnad Al-Imam Ahmad no. 297, 3/43).
5. Tidak Ada Keringanan dari Nabi bagi
Orang yang Meninggalkan Shalat Berjama’ah
Sesungguhnya Nabi yang mulia tidak memberikan keringanan
kepada ‘Abdullah Ibnu Ummi Maktum untuk meninggalkan shalat berjama’ah dan
melaksanakannya di rumah, padahal Ibnu Ummi Maktum mempunyai beberapa ‘udzur
sebagai berikut:
a. Keadaannya yang buta,
b. Tidak adanya penuntun
yang mengantarkannya ke masjid,
c. Jauhnya rumahnya dari
masjid,
d. Adanya pohon kurma
dan pohon-pohon lainnya yang menghalanginya antara rumahnya dan masjid,
e. Adanya binatang buas
yang banyak di Madinah dan
f. Umurnya yang sudah
tua serta tulang-tulangnya sudah rapuh.
Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu
Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: “Ya
Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang
mengantarkanku ke masjid”. Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan
baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan.
Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata:
“Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?” ia menjawab “benar”,
maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah panggilan tersebut.”
Dan juga banyak dalil-dalil lainnya yang menunjukkan akan
wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi setiap muslim yang baligh, berakal
dan tidak ada ‘udzur syar’i baginya.
Semoga Bermanfaat.
0 comments:
Post a Comment
Silahkan tulis komentar sahabat... mohon untuk tidak menyertakan link aktif karena akan otomatis terhapus